Selasa, 30 Maret 2010

PERSEPSI REMAJA TERHADAP PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH
Oleh
Ikhlasul Amal
Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Yogyakarta

Proposal Skripsi

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun. Masa remaja terdiridari masa remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja pertengahan usia 15-18 tahun, dan masa remaja akhir usia 18-21 tahun (Monks, dkk., 2002). Pada periode ini terjadi perubahan baikdari segi fisik maupun dari segi psikologis. Perubahan psikologis yang terjadi merupakan manifestasi dari penyesuaian peran terhadap tugas perkembangan pada masa remaja, seperti : meningkatnya tuntutan dan harapan sosial, adanya tuntutan kemandirian dari orang tua, meningkatnya kebutuhan untuk berhubungan dengan kelompok sebaya, mampu bersikap sesuai norma sekitar, kompeten secara intelektual, berkembangnya tanggung jawab pribadi dan sosial, serta belajar untuk mengambil keputusan (Havighurst, 1972; dalam Hurlock, 1998 : 10).
Selain itu, perubahan fisik yang terjadi pada masa ini adalah terjadinya kematangan fungsi jasmaniah yang biologis berupa kematangan kelenjar kelamin yaitu testis untuk anak laki-laki dan ovarium pada anak gadis. Keduanya merupakan tanda-tanda kelamin primer. Sebelumnya, peristiwa ini didahului oleh tanda-tanda kelamin sekunderyang secara kronologis mendahului ciri-ciri primer seperti tumbuhnya kumis dan memberatnya suara para remaja pria serta pertumbuhan payudara pada remaja wanita.
Perubahan dari anak-anak menjadi dewasa bukan hanya mengakibatkan terjadinya perubahan fisik dan psikologis tetapi juga melibatkan kematangan fungsi seksual. Sigmund Freud dalam Hurlock (1998) mengemukakan bahwa pada masa remaja libido atau energi seksual menjadi hidup, yang tadinya laten pada masa pra remaja. Hal ini timbul seiring dengan pertumbuhan primer dan sekunder pada remaja kearah kematanganyang sempurna. Oleh karena itu muncul juga hasrat dan dorongan untuk menyalurkan keinginan seksualnya. Keinginan untuk menyalurkan dorongan seksual dan timbulnya rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan baruyang lebih matang dengan teman sebaya maupun lawan jenis (Hurlock, 1998 : 226). Timbulnya hasrat seksual inilah salah satu faktor yang mendorong perilaku seksual baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan di beberapa Sekolah Menengah Atas, didapati data bahwa siswa-siswi di SMA cenderung berperilaku seksual aktif beresiko. Hal ini berdasarkan data yang diperoleh dari wawancara dengan guru BK (Bimbingan Konseling) salah satu SMA, bahwa ketika diadakan razia dadakan yang diadakan pihak sekolah siswa-siswi sekolah tersebut sering kedapatan menyimpan film porno dalam handphone. Di sekolah tersebut juga banyak terdapat siswa dan siswi yang berpacaran serta tidak segan-segan menunjukkan kemesraannya di lingkungan sekolah. Bahkan pada suatu waktu, Guru BK pernah mendapati siswa siswi yang berpacaran dan melakukan ciuman setelah jam kegiatan belajar mengajar selesai. Pihak sekolah telah memberlakukan peraturan yang ketat yaitu mengembalikan siswa ke pihak orang tua (drop out) apabila kedapatan ada siswanya yang melakukan tindakan yang melanggar peraturan sekolah seperti melakukan hubungan intim ataupun hamil.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada sepuluh orang siswa kelas X dan XI di salah satu SMA, diperoleh keterangan banyak siswa dan siswi di sekolah tersebut yang berpacaran dan tidak segan-segan menunjukkan kemesraannya di lingkungan sekolah. Bahkan salah seorang siswa mengatakan bila istirahat teman-temannya sering menonton video porno bersama-sama dari handphone. Delapan dari siswa tersebut mengaku pernah berpacaran, ketika diberi pertanyaan apa saja yang mereka lakukan ketika berpacaran, lima orang menjawab sudah pernah berciuman, dan tiga orang lainnya bahkan pernah meraba bagian tubuh yang paling sensitif. Dari hasil wawancara dengan beberapa siswa tersebut, mereka mengatakan bahwa hal-hal yang mereka lakukan wajar karena dilakukan dengan sukarela dan atas dasar rasa cinta.



B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang penelitian, maka maslah dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Siswa diketahui tidak segan-segan menunjukkan kemesraannya dalam berpacaran bahkan beberapa dari mereka pernah berciuman dan meraba bagian tubuh yang sensitive.
2. Belum diketahui persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah
3. Belum diketahui perilaku seksual remaja
C. Batasan Masalah
Mengingat luasnya permasalahan dan terbatasnya kemampuan peneliti, maka perlu adanya pembatasan yang jelas. Pada penelitian ini, peneliti akan mencoba melihat variabel-variabel yang mempunyai hubungan dengan persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah. Namun dalam penelitian ini peneliti hanya mampu mengambil dua variabel saja, yaitu persepsi remaja sebagai variabel bebas (independent varable) dan perilaku seksual pranikah sebagai variabel terikat (dependent variable).
D. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diungkapkan diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: “Bagaimana Persepsi Remaja terhadap Perilaku Seksual Pranikah?”
E. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini meliputi:
a. Mengidentifikasi persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk eksplorasi
b. Mengidentifikasi persepsi terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk masturbasi
c. Mengidentifikasi persepsi terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk homosexual play
d. Mengidentifikasi persepsi terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk heterosexual play
e. Mengidentifikasi persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk aggressive sex play
F. Manfaat Penelitian
1. Bagi rofesi Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah, sehingga dapat menjadi langkah awal bagi perawat untuk merencanakan pemberian pendidikan dan pelayanan dibidang kesehatan reproduksi remaja. Selain itu, sebagai tindakan preventif dan promotif untuk mencegah dampak negatif yang ditimbulkan dari persepsi remaja yang mendukung (favorable) terhadap perilaku seksual pranikah.
2. Bagi Institusi Sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi institusi sekolah terutama guru BK (Bimbingan Konseling), guru pembina PMR (Palang Merah Remaja) dan UKS (Unit Kesehatan Sekolah), mengenai gambaran persepsi siswanya terhadap perilaku seksual pranikah. Sehingga pihak institusi dapat menyusun langkah-langkah selanjutnya untuk dapat mengembangkan persepsi siswa-siswinya terhadap perilaku seksual pranikah kearah yang lebih baik.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sebagai data awal bagi penelitian selanjutnya mengenai faktor-faktor yang yang berkaitan dengan perilaku seksual remaja.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Persepsi
1. Definisi Persepsi
Terdapat berbagai pengertian atau definisi mengenai persepsi yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Rakhmat (2000), persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkannya. Persepsi adalah memberikan makna pada stimuli inderawi atau sensori stimuli.
Persepsi merupakan suatu proses yang dilakukan oleh penginderaan yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui responnya. Stimulus dilanjutkan ke susunan saraf otak dan terjadilah proses kognitif sehingga individu mengalami persepsi (Walgito, 1997).
Persepsi adalah suatu proses dimana individu memberikan arti pada lingkungan yang melibatkan pengorganisasian dan interpretasi berbagai stimulus kedalam pengalaman psikologis (Gibson, 1998). Persepsi menurut Mar’at (1990) digambarkan sebagai suatu tanggapan seseorang yang berasal dari komponen kognisi dan dipengaruhi pengalaman, proses belajar, wawasan dan pengetahuan.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses penangkapan stimulus yang kemudian disimpulkan menjadi suatu yang bermakna dan berarti melalui proses seleksi, organisasi dan interpretasi. Persepsi membantu individu dalam memilih perilaku individu tersebut. Persepsi juga merupakan suatu proses kognisi yang melibatkan cara-cara dimana individu memproses informasi yang didapatnya, dengan proses kognisi tersebut timbul perbedaan dan keunikan masing-masing individu yang mempersepsikan.
B. Konsep Remaja
1. Definisi Remaja
Remaja merupakan masa transisi, suatu masa dimana periode anak-anak sudah terlewati dan disatu sisi belum dikatakan dewasa (Stuart and Sundeen, 1995). Steinberg (2002) menyatakan masa remaja sebagai masa peralihan dari ketidakmatangan pada masa kanak-kanak menuju kematangan pada masa dewasa. Ia juga menyatakan masa remaja merupakan periode transisi yang meliputi segi-segi biologis, fisiologis, sosial dan ekonomis yang didahului oleh perubahan fisik (bentuk tubuh dan proporsi tubuh) maupun fungsi fisiologis (kematangan organ-organ seksual).
Lazimnya masa remaja dimulai saat anak-anak secara seksual menjadi matang (Hurlock, 1998). Masa remaja berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun dan terbagi menjadi masa remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja pertengahan usia 15-18 tahun, dan masa remaja akhir usia 18-21 tahun (Monks, dkk., 2002).

2. Tahap Perkembangan Remaja
Menurut tahap perkembangan, masa remaja dibagi menjadi tiga tahap yaitu :
a. Masa Remaja Awal (12-15 tahun), dengan ciri khas antara lain:
1) Lebih dekat dengan teman sebaya
2) Ingin bebas
3) Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak
b. Masa Remaja Tengah (15-18 tahun), dengan ciri khas antara lain :
1) Mencari identitas diri
2) Timbulnya keinginan untuk kencan
3) Mempunyai rasa cinta yang mendalam
4) Mengembangkan kemampuan berpikir abstrak
5) Berkhayal tentang aktifitas seks
c. Masa Remaja Akhir (18-21 tahun), dengan ciri khas antara lain:
1) Pengungkapan identitas diri
2) Lebih selektif dalam mencari teman sebaya
3) Mempunyai citra jasmani dirinya
4) Dapat mewujudkan rasa cinta
5) Mampu berpikir abstrak


C. Konsep Perilaku Seksual Pranikah
1. Definisi
Perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing (Mu’tadin, 2002). Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2003). Sedangkan menurut Irawati (1999), perilaku seksual merupakan perilaku yang didasari oleh dorongan seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku. Contohnya adalah berpegangan tangan, berpelukan, cium pipi, cium bibir, masturbasi, petting, bersenggama (sexual intercourse).
2. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Pranikah
Menurut Hurlock (1973), terdapat bentuk-bentuk perilaku seksual yang biasa terjadi pada usia tertentu, yaitu :
a. Exploration
Merupakan salah satu bentuk perilaku seksual yang pertama-tama muncul dalam diri individu, yang didahului oleh keingintahuan individu terhadap masalah seksual dan dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Ada yang berbentuk murni intelektual, yang menggiring remaja bertanya atau membaca buku bila terdapat pertanyaan-pertanyaan yang takut ia utarakan. Atau juga dapat berbentuk manipulatif, dimana remaja menjelajahi organ-organ seksualnya sendiri atau orang lain. Biasanya bila remaja tidak puas untuk memenuhi perasaan ingin tahunya dengan pendekatan tidak langsung yang berbentuk intelektual, maka anak akan menggunakan pendekatan langsung yang berbentuk manipulatif. Adanya tekanan kelompok juga menyebabkan seseorang melakukan pendekatan secara langsung.
b. Masturbation
Masturbasi merupakan bentuk perilaku seksual dengan melakukan perangsangan organ kelamin untuk mendapatkan kepuasan seksual. Perilaku ini biasa memuncak pada saat individu mulai memasuki usia pubertas dan remaja, dimana terjadi perubahan pada tubuh individu. Masturbasi ini dilakukan sendiri-sendiri dan juga dilakukan secara mutual dengan teman sebaya sejenis kelamin, tetapi sebagian dari mereka juga melakukan masturbasi secara mutual dengan pacarnya.
Banyak remaja melakukan masturbasi dan kebanyakan memandang aktifitas ini dengan perasaan yang tercampur aduk. Meskipun 80% remaja laki-laki dan banyak remaja perempuan mengatakan mereka menyetujui masturbasi, tapi banyak diantaranya yang merasa gelisah dan bersalah apabila telah melakukan masturbasi. Kebanyakan remaja menganggap masturbasi adalah sesuatu yang buruk, dilakukan atau tidak, karena remaja belajar dari orang tua, sekolah, maupun dari kegiatan keagamaannya bahwa hal tersebut adalah tidak baik.
Remaja merasa bersalah jika melakukan masturbasi, atau memilih untuk tidak pernah mengenal masturbasi sama sekali (Dacey and Kenny, 1997). Akan tetapi banyak ahli yang menyatakan bahwa masturbasi itu tidak berbahaya dan percaya bahwa hal tersebut adalah normal, cara sehat bagi remaja untuk menyalurkan hasrat seksualnya (Dacey and Kenny, 1997). Berdasarkan hasil penelitian, tidak ada hubungan yang ditemukan antara melakukan masturbasi selama masa praremaja dan/atau masa remaja dengan penyesuaian seksual di masa dewasa (Santrock, 2003).
c. Homosexual Play
Homosexual play merupakan bentuk perilaku seksual yang dilakukan individu dengan orang lain yang berjenis kelamin sama dengannya. Bentuk perilaku seksual ini mendahului munculnya perasaan erotis terhadap lawan jenis (Hurlock, 1973).
Menurut Dacey dan Kenny (1997), aktifitas seksual dengan individu yang berjenis kelamin sama sering terjadi sebagai bagian dari eksplorasi seksual dari proses menjadi remaja. Timbulnya perasaan istimewa ini lebih kuat terjadi ketika remaja memasuki masa pubertas dan berkembangnya kebutuhan untuk mempercayai orang lain. Hal ini menyebabkan mereka lebih mempercayai teman sesama jenisnya untuk berbagi pengalaman dan adakalanya hal tersebut termasuk pengalaman seksual yang terbuka.
Identitas, ketertarikan, dan tingkah laku homoseksual meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Santrock, 2003). Remaja mungkin takut bahwa pengalaman ini mendefinisikan seksualitas total mereka (Potter and Perry, 2005). Tetapi apakah remaja ini nantinya memiliki orientasi homoseksual tidaklah diketahui. Karena tidaklah jarang bagi seorang individu, terutama laki-laki, untuk melakukan eksperimen homoseksual dimasa remaja, namun tidak melakukan tingkah laku homoseksual dimasa dewasa. Sementara beberapa individu melakukan tingkah laku heteroseksual dimasa remaja, namun kemudian melakukan tingkah laku homoseksual dimasa dewasa (Santrock, 2003)
Perilaku seksual berbeda dengan orientasi atau identitas seksual. Seorang homoseksual adalah orang yang menyukai interaksi seksual dan intim, hubungan interpersonal dengan individu yang berjenis kelamin sama (Buunk and Van Driel, 1989; dalam Dacey and Kenny, 1997). Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa orientasi seksual seseorang (apakah dirinya seorang homoseksual, heteroseksual, atau biseksual) berkembang secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak hingga dewasa (D’Augelli, 1988; dalam Dacey and Kenny, 1997).
d. Heterosexual play
Bentuk perilaku seksual ini meningkat pada saat anak perempuan dan laki-laki telah mencapai kematangan seksual, dimana dorongan seksual muncul pada individu serta mulai diarahkan pada lawan jenisnya. Heterosexual play biasa terjadi ketika remaja berpacaran.
Menurut Irawati (1999), perilaku seksual pranikah yang dilakukan remaja ketika berpacaran terdiri dari beberapa tahap yang bisa dilakukan mulai dari tahap perilaku seksual pranikah yang beresiko rendah hingga perilaku seksual pranikah yang beresiko tinggi. Tahap-tahap perilaku seksual pranikah tersebut adalah :
1) Berpegangan tangan
Perilaku seksual ini biasanya dapat menimbulkan keinginan untuk mencoba aktivitas seksual lainnya (hingga kepuasan seksual individu dapat tercapai). Umumnya jika individu berpegangan tangan maka muncul getaran-getaran romantis atau perasaan-perasaan aman dan nyaman.

2) Berpelukan
Perilaku seksual berpelukan akan membuat jantung berdegup lebih cepat dan menimbulkan rangsangan seksual (terutama mengenai daerah erogenous) pada individu. Disamping itu berpelukan juga dapat menimbulkan perasaan aman, nyaman dan tenang.
3) Cium kering
Perilaku seksual cium kering berupa sentuhan pipi dengan pipi dan pipi dengan bibir. Dampak dari cium pipi bisa mengakibatkan imajinasi atau fantasi seksual menjadi berkembang disamping menimbulkan perasaan sayang jika diberikan pada moment tertentu dan bersifat sekilas. Selain itu juga dapat menimbulkan keinginan untuk melanjutkan ke bentuk aktifitas seksual lainnya yang lebih dapat dinikmati.
4) Cium basah
Aktifitas seksual cium basah berupa sentuhan bibir. Dampak dari aktifitas seksual cium bibir dapat menimbulkan sensasi seksual yang kuat yang membangkitkan dorongan seksual hingga tidak terkendali. Selain itu juga dapat memudahkan penularan penyakit yang ditularkan melalui mulut, misal TBC. Apabila dilakukan secara terus menerus akan menimbulkan ketagihan (perasaan ingin mengulangi perbuatan tersebut).
5) Meraba bagian tubuh yang sensitive
Merupakan suatu kegiatan meraba atau memegang bagian sensitif (payudara, vagina, penis). Dampak tersentuhnya bagian paling sensitif tersebut akan menimbulkan rangsangan seksual sehingga melemahkan kontrol diri dan akal sehat akibatnya bisa melakukan aktifitas seksual selanjutnya seperti cumbuan berat dan intercourse.
6) Petting
Merupakan keseluruhan aktifitas seksual non intercourse (hingga menempelkan alat kelamin) dampak dari petting yaitu timbulnya ketagihan dan lebih jauhnya adalah kehamilan karena cairan pertama yang keluar pada saat terangsang pada laki-laki sudah mengandung sperma (meski dalam kadar terbatas), sehingga resiko terkenanya PMS/HIV cukup tinggi, apalagi jika berlanjut ke intercourse. Secara psikologis menimbulkan perasaan cemas dan bersalah dengan adanya sangsi moral atau agama. Bagi laki-laki mungkin dapat memuaskan kebutuhan seksual sedangkan bagi wanita bisa menyebabkan rusaknya selaput dara.

7) Oral seksual
Oral seksual pada laki-laki adalah ketika seseorang menggunakan bibirnya, mulut dan lidah pada penis dan sekitarnya, sedangkan pada wanita melibatkan bagian di sekitar vulva yaitu labia, klitoris dan bagian dalam vagina. Oral seksual tidak menyebabkan kehamilan namun merupakan perilaku seksual dengan resiko penularan PMS tinggi.
8) Sexual intercourse atau bersenggama
Merupakan aktifitas seksual dengan memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan. Dampak dari hubungan seksual yang dilakukan sebelum saatnya yaitu perasaan bersalah dan berdosa terutama pada saat pertama kali, ketagihan, kehamilan sehingga terpaksa menikah atau aborsi, kematian dan kemandulan akibat aborsi, resiko terkena PMS atau HIV, sangsi sosial, agama serta moral, hilangnya keperawanan dan keperjakaan, merusak masa depan (terpaksa drop out sekolah), merusak nama baik pribadi dan keluarga.
9) Aggressive Sex Play
Bentuk perilaku seksual ini biasanya dilakukan oleh remaja laki-laki yang memaksa teman wanitanya untuk bermain seks. Biasanya dilakukan ketika remaja laki-laki tersebut mabuk atau ketika mereka berkencan dengan remaja perempuan yang usianya lebih muda dari dirinya sendiri. Hal ini menyebabkan kaum feminis percaya bahwa laki-laki disosialisasikan untuk menjadi agresif secara seksual, percaya bahwa perempuan adalah makhluk yang inferior dan memandang kesenangan mereka sendiri sebagai tujuan yang paling penting. Para peneliti telah menemukan karakteristik berikut ini pada para pelaku perilaku seksual yang dipaksakan yaitu agresi meningkatkan perasaan berkuasa atau maskulinitas pada diri si pelaku, pelaku merasa marah kepada kaum perempuan secara umum, dan mereka ingin melukai korbannya.
Banyak anak perempuan yang berusaha menghindari permainan seks dengan paksaan. Akan tetapi pada sebuah penelitian ditemukan bahwa hampir dua pertiga remaja laki-laki mengakui bahwa mereka menuruti keinginan teman perempuannya walaupun hal itu bertentangan dengan keinginannya, sementara setengahnya mengakui memaksakan aktifitas seksual.
Perhatian yang lebih juga diberikan kepada perilaku seksual dengan paksaan dalam hubungan kencan atau dengan kenalan, dimana aktivitas seksual yang dipaksakan ditujukan kepada seseorang yang paling tidak telah dikenal oleh individu secara sambil lalu. Perilaku seksual dengan paksaan dalam hubungan kencan adalah masalah yang semakin meningkat di lingkungan remaja (Clark, dkk., 1992; dalam Santrock, 2003).
D. Penelitian Yang Relevan
Untuk mengungkap dan membantu penelitian ini, peneliti mencari bahan-bahan penelitian yang ada dan relevan dengan penelitian yang akan diteliti. Beberapa penelitian yang relevan dibawah ini diharapkan bisa membantu memberikan arahan agar penelitian lebih fokus. Penelitiian yang relevan tersebut antara lain sebagai berikut:
”Penelitian W. Natasha (2004) dengan judul ” Perilaku Seksual Siswa Remaja di Kecamatan Bayongbong Kabupaten Garut”. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 240 siswa. Hasil penelitian bahwa sebagian besar remaja di Kecamatan Bayongbong Kabupaten Garut Pernah melakukan hubungan seksual pranikah.”
E. Kerangka Berfikir
Masalah perilaku seksual pranikah merupakan hal yang erat sekali kaitannya dengan remaja. Hal ini dikarenakan terjadinya perkembangan seksual yang mendorong remaja untuk mulai mencoba sesuatu yang berhubungan dengan perilaku seksual
Bentuk perilaku seksual yang paling awal adalah eksplorasi. Rasa ingin tahu mengakibatkan adanya eksplorasi. Eksplorasi memiliki dua bentuk, yaitu secara intelektual dan teknik manipulasi. Secara intelektual akan menuntun remaja untuk menanyakan hal-hal tertentu atau membaca buku-buku untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan (ketika remaja takut untuk bertanya). Ketika remaja tidak dapat memenuhi rasa ingin tahunya secara tidak langsung melalui pendekatan intelektual, mereka melakukan pendekatan secara langsung yang melibatkan teknik manipulasi yaitu dengan cara mengeksplorasi organ seksnya sendiri juga organ seks orang lain.
Bentuk perilaku seksual yang biasa memuncak pada saat pubertas dan remaja adalah masturbasi. Masturbasi adalah perangsangan diri dengan memainkan tangan atau alat-alat lainnya ke bagian-bagian tubuh yang sensitif, terutama alat kelaminnya, biasanya hingga tercapai orgasme dan pelepasan tegangan seksual. Selain masturbasi, bentuk perilaku seksual yang dapat timbul pada remaja adalah homosexual play yang merupakan bentuk perilaku seksual yang dilakukan individu dengan orang lain yang berjenis kelamin sama dengannya. Ketika remaja laki-laki dan perempuan menjadi matang secara seksual, dorongan seks secara normal diarahkan kepada lawan jenisnya. Akibatnya terjadi peningkatan dalam heterosexual play yang biasa terjadi ketika remaja berpacaran
F. Hipotesis
Berdasarkan kajian diatas dan hasil penelitian yang relevan sebagaimana diungkapkan diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
1. Tingginya Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah
2. Banyaknya Penyimpangan Perilaku Seksual Pranikah Remaja




BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Metode penelitian deskriptif digunakan untuk memecahkan atau menjawab permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang (Notoadmodjo, 2005).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah.
B. Variabel dan Sub Variabel Penelitian
1. Variabel Penelitian
Variabel adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Arikunto, 2002). Definisi lain mengatakan bahwa variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu konsep pengertian tertentu (Notoadmodjo, 2005).
Variabel dalam penelitian ini merupakan variabel tunggal yakni persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah.


2. Sub Variabel Penelitian
Sub variabel dalam penelitian ini adalah perilaku seksual pranikah yang meliputi : eksplorasi, masturbasi, homosexual play, heterosexual play, dan aggressive sex play.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang menjadi kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2006 : 90). Jadi, populasi merupakan objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang mempunyai kaitan dengan masalah yang diteliti. Populasi yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah seluruh remaja dengan rentang usia antara 15-18 tahun, kelas X – XI yang masih bersekolah. Jumlah populasi yang diambil dari SMA sekitar 860 orang siswa yang duduk di kelas X sebanyak 420 orang dan di kelas XI sebanyak 440 orang.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2006 : 91). Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan stratified random sampling yaitu teknik yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel bila populasinya berstrata (Sugiyono, 2006). Dalam teknik ini populasi dibagi dalam 2 kelompok yang homogen (strata), kemudian anggota sampel ditarik dari setiap strata (Nazir, 1999 : 332). Pada penelitian ini terdapat 2 strata sampel, yaitu strata I merupakan remaja SMA kelas X dan strata II merupakan remaja SMA kelas XI.
Notoatmodjo (2005) menyatakan bahwa untuk populasi kecil atau lebih kecil dari 10.000, dapat menggunakan formula sebagai berikut :
Keterangan :
N = besar populasi
n = besar sampel
d = tingkat kepercayaan/ketepatan yang dinginkan
Kemudian dicari pengambilan sampel berstrata dengan rumus :
(Al Rasyid, 1994 : 80)
Keterangan :
ni = jumlah sampel menurut stratum
n = jumlah sampel seluruhnya
Ni = jumlah populasi menurut stratum
N = jumlah populasi seluruhnya
Hasil perhitungan dengan memakai tingkat kepercayaan yang diinginkan sebesar 0,0812 adalah sebagai berikut :
Sampel kelas X : 420/860x129= 63
Sampel kelas XI : 440/860x129= 66
Jadi jumlah sampel seluruhnya = 63+66 = 129 orang.
Penentuan unit-unit sampel dilakukan dengan cara membangkitkan angka-angka acak sejumlah 129 angka acak yang dilakukan dua kali berdasarkan strata, dengan menggunakan bantuan software Microsoft Exel 2007. Pembangkitan angka acak yang pertama untuk menentukan sampel dengan strata kelas X, maka dibangkitkan angka-angka acak sejumlah 63 angka acak yang berkisar dari 1 sampai dengan 420. Selanjutnya, pengambilan angka acak untuk yang kedua menggunakan cara yang sama dengan pengambilan angka acak yang pertama. Sehingga didapatkan 129 angka acak yang digunakan untuk pengambilan unit-unit sampel itu.
D. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang relevan dengan masalah yang diteliti, maka diperlukan alat pengumpulan data atau instrumen yang tepat. Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati (Sugiyono, 2006).
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang diketahui (Arikunto, 2002). Kuesioner yang digunakan untuk penelitian dibuat sendiri oleh peneliti dan sebelum digunakan untuk penelitian akan dilakukan uji coba terlebih dahulu melalui uji validitas dan uji reliabilitas instrumen.
Skala pengukuran yang digunakan adalah rating scale. Yang terdiri dari lima kategori jawaban yaitu: sangat setuju (SS), setuju (ST), ragu-ragu (RG), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Responden diminta untuk membubuhkan tanda check list (√) pada kolom yang sesuai. Pengumpulan data pada saat penelitian dilakukan dengan menyebarkan angket kepada responden dan menjelaskan petunjuk pengisian kuesioner. Kemudian kuesioner yang telah diisi dikumpulkan dan dicek kelengkapannya oleh peneliti untuk diolah dan dianalisis.
E. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif, dengan menggunakan rating scale dimana untuk pernyataan yang bersifat favourable antara lain : sangat setuju (SS) diberi skor 5, setuju (ST) diberi skor 4, ragu-ragu (RG) diberi skor 3, tidak setuju (TS) diberi skor 2 dan sangat tidak setuju (STS) diberi skor 1. Sedangkan untuk pernyataan yang bersifat unfavourable : sangat tidak setuju (STS) diberi skor 5, tidak setuju (TS) diberi skor 4, ragu-ragu (RG) diberi skor 3, setuju (ST) diberi skor 2, dan sangat setuju (SS) diberi skor 1.
Karena instrumen yang digunakan menggunakan rating scale, maka untuk mengetahui persepsi responden yang termasuk ke dalam kategori favorable atau unfavourable digunakan teknik median dengan rumusan sebagai berikut :
(Azwar, 2003)
Persepsi responden yang dimaksudkan di atas dikategorikan ke dalam kategori favorable atau unfavourable dengan kriteria sebagai berikut :
Persepsi responden dikatakan favorable apabila skor total responden > median.
Persepsi responden dikatakan unfavorable apabila skor total responden < median.
Selanjutnya setiap kategori dihitung nilai prosentasenya, dengan rumus :
P = X 100%
(Arikunto, 2002)
Keterangan :
P = presentase kategori
f = jumlah responden yang masuk kategori
N = jumlah responden keseluruhan
F. Prosedur Penelitian
1. Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan penyusunan proposal penelitian, peneliti terlebih dahulu menentukan topik penelitian. Kemudian peneliti melakukan pendekatan untuk melakukan studi pendahuluan di instansi terkait. Setelah merumuskan masalah penelitian, peneliti melakukan studi kepustakaan di perpustakaan Fakultas Ilmu Keperawatan, Fakultas Psikologi, dan perpustakaan pasca sarjana Unpad, pusat sumber daya informasi ilmiah dan perpustakaan Unpad (Cisral), serta dari internet. Tahap selanjutnya adalah menyusun proposal penelitian yang dilanjutkan dengan seminar proposal penelitian. Kemudian peneliti melakukan perbaikan hasil penelitian berdasarkan masukan dan saran pada saat seminar. Setelah itu peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen. Lalu setelah semua item valid dan reliabel, peneliti mempersiapkan alat penelitian dan surat perizinan.
2. Tahap Pelaksanan
Pada tahap pelaksanaan, peneliti terlebih dahulu mengajukan surat izin penelitian pada pihak SMA yang bersangkutan. Setelah mendapat izin penelitian, baru peneliti melakukan penelitian. Kemudian pada saat penelitian, responden yang menjadi sampel penelitian dikumpulkan dalam beberapa ruangan. Responden diberi penjelasan mengenai tujuan penelitian dan cara pengisian angket. Sebelum membagikan kuesioner penelitian, peneliti melakukan inform consent terlebih dahulu, kemudian membagikan kuesioner kepada responden yang bersedia. Setelah itu, peneliti mengumpulkan kuesioner yang telah diisi oleh responden dan mengecek kelengkapannya. Jika sudah lengkap, baru peneliti melakukan pengolahan dan analisis data.
G. Etika Penelitian
1. Informed Consent
Lembar persetujuan (Informed Consent) penelitian diberikan kepada responden dengan tujuan agar subjek mengetahui maksud dan tujuan peneliti. Jika subjek tidak bersedia untuk diteliti maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati haknya.
2. Anonimity (Tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden maka peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar angket.
3. Confidentiality
Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden dijamin oleh peneliti


DAFTAR PUSTAKA
Al Rasyid, H. 1994. Teknik Penarikan Sampel dan Penyusunan Skala. Bandung : Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran.
Arief, I. 2008. Remaja dan hubungan seksual pranikah. Available at : http://www.pjnhk.go.id (diakses tanggal 28 April 2008).
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Azwar, S. 2003. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Cesillia, S. 2008. Menghalau seks pranikah di kalangan remaja lewat sms. Available at : http//:www.jurnalnasional.com (diakses tanggal 26 April 2008).
Cobb, Nancy. 2001. Adolescence : Continuity, Change, and Diversity, Fourth Edition. California : Mayfield Publishing Company.
Congressman Honda’s Student Advisory Committee. 2004. Teenage sexuality : examining the perceptions and realities. Available at : http://aappolicy.aappublications.org/cgi/content/full/pediatrics%3b107/1... (diakses tanggal 26 April 2008).
Departemen Kesehatan RI. 2002. Modul Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Desmita. 2007. Psikologi Perkembangan. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Ditjen PPM dan PL Depkes. 2008. Statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia. Available at : http//:www.aidsindonesia.or.id (diakses tanggal 26 April 2008).
Hamid, A. Y. S. 1999. Buku Ajar : Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa pada Anak dan Remaja. Jakarta : Widya Medika.
Hurlock, E. B. 1973. Adolescent Development, Fourth Edition. Tokyo : Mc Graw-Hill.
_______ 1998. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.
Irawati, I. 1999. Modul Perkembangan Seksualitas Remaja. Bandung : PKBI-UNFPA.
Mar’at. 1990. Sikap Manusia : Perubahan serta Pengukurannya. Yogyakarta : Andi Offset.
Natasha, W. 2004. Perilaku Seksual Siswa Remaja di Kecamatan Bayongbong Kabupaten Garut. Bandung : Universitas Padjadjaran.
Nazir. 1999. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
_______ 2005. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar